Kamis, 28 Mei 2009

MODUS-MODUS KORUPSI YANG PERLU DISIMAK SECARA SEKSAMA

Pada kolom ini penulis ingin menuangkan beberapa hasil renungan penulis, yaitu modus-modus korupsi yang dapat saja terjadi, dan untuk itu perlu disimak serta diantisipasi dengan tindakan tegas dan regulasi yang baik. Adapun modus-modus korupsi itu antara lain yaitu : -----------

1. Mark Up
Mr. Koruptor jika diberi kewenangan untuk membelanjakan dana anggaran selalu berusaha
mencari celah dan bekerja sama dengan pihak-pihak yang dapat memberikannya fee lebih,
Akibatnya harga-harga barang yang dibeli lebih tinggi dari harga yang reasonable untuk item
barang dimaksud. Cara ini sudah sangat teramat kuno, dan biasanya cepat dapat diketahui
pihak yang berwenang memberantasnya.

2. Pemberian terselubung
Biasanya sang Mr. Koruptor selalu mengadakan pesta-pesta ataupun acara-acara kantor,
tetapi rekanannya ataupun tempat yang ditujunya adalah pihak yang sama dari masa ke-
masa, dan dalam acara tersebutlah sang Mr. Koruptor selalu mendapatkan amplop ataupun
barang yang kecil-kecil (printilan) tetapi nilai jualnya sangat mahal. Cara inipun sudah lagu
lama, tetapi yang mesti disikapi adalah acara-acara kantor yang alasannya rapat studi ban-
ding ataupun membuat ide-ide baru bagi kemajuan instansi tersebut, sepatutnya ditender-
kan saja pelaksanaannya, jika materi yang dikeluarkan mencapai batasan tertentu.

3. Penyalahgunaan wewenang atau kekuasaan
Biasanya hal ini dilakukan oleh Mr. Koruptor yang mempunyai kekuasaan atau wewenang
dibidang regulasi, atau yang berkaitan dengan hukum. Cara yang digunakan Mr. Koruptor
adalah selalu memanfaatkan celah-celah hukum yang ada, atau membuat regulasi yang se-
lalu sesuai dengan pesanan pihak-pihak tertentu, walaupun pemberian tidak secara lang-
sung, biasanya sang Mr. Koruptor mendapat imbalan berupa satu proyek atau pekerjaan
yang akan dilaksanaan oleh kroni-kroninya sendiri. Cara pencegahannya adalah dengan
cara menyetop akses pejabat publik terhadap usahanya maupun kroninya, dengan cara
Membentuk badan Kurator Independen selama pejabat publik tersebut berkuasa.

4. Membuat Regulasi (Aturan-Aturan) yang melegalkan suatu perbuatan Korupsi
Caranya adalah sang Mr. Koruptor akan membuat suatu regulasi yang selalu bertujuan
untuk melegalkan perbuatannya ataupun memudahkannya dalam hal penjualan suatu asset
negara, yang patut disimak dalam hal ini adalah kewenangan Pemerintah Daerah dalam
memberikan izin-izin ataupun kerjasama-kerjasama dengan pihak Swasta baik asing maupun
dalam negeri, terutama terhadap asset-asset Pemerintah Daerah yang berupa Fasos dan Fa-
sum. Cara pencegahannya adalah Pemerintah Pusat harus segera membentuk suatu Badan
Independen yang tugasnya untuk mengawasi dan menjaga serta melindungi asset-asset di-
maksud. (Sentralisasi management atas asset-asset Fasos dan Fasum diseluruh daerah).
Mudah-mudahan modus ini belum pernah terjadi, dan tulisan ini bukan diperuntukkan bagi
sang Mr. Koruptor untuk belajar melakukan modus ini.

5. Melakukan kerja sama dengan pihak Asing ataupun perusahaan dalam negeri, dimana dapat
dipastikan sebelumnya Negara akan melakukan default terhadap materi kerjasama dimaksud
dan Negara akan dikenakan denda ataupun ganti rugi atas wanprestasi tersebut.
Caranya adalah suatu BUMN ataupun Instansi lainnya mengadakan kerja sama dengan pihak
asing ataupun dalam negeri, dan dibuatkan perjanjian-perjanjian dimana sebelumnya
telah dapat dipastikan bahwa suatu saat Pemerintah pasti tidak dapat melaksanakan
perjanjian tersebut, biasanya kerja sama yang dilakukan dengan modus ini adalah dengan
pihak Asing, agar ada alasan bahwa jika tidak dipenuhi maka, nama Negara akan rusak dan
tidak dipercaya negara kreditor. Canggih kan. Mudah-mudahan hal ini tidak terjadi di
Indonesia, dan tulisan ini bukan diperuntukkan bagi sang Mr. Koruptor untuk belajar
melakukan modus ini.

6. Sang Koruptor bisa saja melakukan kerja sama dengan pihak pengembang, sehingga kewajiban untuk menyediakan fasos-fasum dapat mengecil, contoh dapat saja fasilitas kuburan yang ditunjukkan oleh sang pengembang adalah lokasi yang ada, merupakan lokasi yang sama yang telah ditunjukan pengembang yang lain, atau lokasinya jauh dari areal tempat pengembang melakukan pembangunan, dan bahkan lebih ekstreem lagi tanah untuk fasilitas kuburan tersebut tidak ada (alias bodong coy.....) . Mudah-mudahan hal ini belum terjadi di Indonesia, dan untuk mengantisipasinya so pasti kita harus baca lagi point 4. diatas...

7. Sang Koruptor dapat saja memanfaatkan data-data yang salah dari administrasi kependudukan, hal ini berkaitan dengan bantuan-bantuan yang akan diserahkan kepada yang berhak mendapatkan. Bayangkan jika dalam satu wilayah datanya bisa melenceng 10 % aja, weleh-weleh uenak tenan). (Ada orang mati yang dianggap hidup, ada dobel nik, ada dobel nama, dll). Cara mengantisipasinya adalah RT dan RW harus lebih diberdayakan, karena pada dasarnya masyarakat masih menginginkan kebenaran administrasi pemerintahan sehingga korupsi yang bersumber dari pemanfaatan data-data yang salah dari administrasi kependudukan dapat dianulir.

8. Sang Koruptor sebagai pemutus dalam suatu Instansi akan mengeluarkan suatu tarif diluar tarif resmi (double tarif), yang akan dibebankan pada pemakai jasa, biasanya tarif ini disampaikan langsung secara lisan kepada konsumen, yang mana jika konsumen meminta dasar pengenaannya sang customer service akan berdalih dengan berbagai alasan, alasan klisenya adalah bahwa Ia hanya menjalankan tugas untuk memberitahu sesuai dengan tabel yang ada. Tarif ini jelas-jelas tidak akan dipublikasikan kepada masyarakat sebagai syarat sosialisasi.
Cara mengantisipasinya adalah bahwa seluruh Instansi diwajibkan membuat spanduk-spanduk atau pengumuman-pengumuman disekitar ruangan pengurusan surat-surat, dimana jika ada tarif resmi harus dinyatakan dengan sejelas-jelasnya, dan juga dasar hukum pengenaannya, serta Nomor khusus (antara lain lembaga Ombudsman) yang dapat dihubungi untuk mengadukan jika ada hal-hal yang terjadi tidak sesuai dengan dari yang telah diatur secara resmi.

9. Sang Koruptor membuat Yayasan atau bentuk badan hukum lain, biasanya sih bentuknya Yayasan, dimana Yayasan ini bergerak dibidang amal, dan untuk mendukung kegiatan-kegiatan sosial masyarakat lainnya. Memang bagus sih bungkusannya tetapi kalau isinya merupakan pemberian-pemberian yang terselubung dan ada korelasinya dengan jabatan dan kekuasaan dan kewenangan yang dimiliki sang Koruptor, berarti Sang Koruptor tadi telah menyalahgunakan jabatannya. Untuk mengantisipasinya adalah dengan tegas melarang Para pejabat ataupun kroni-kroninya untuk memiliki Yayasan seperti dimaksud, dan secara general pihak yang berwenang harus aktif terutama khusus mengawasi Yayasan, BPK wajib memeriksa kedalam, dasar pemikirannya adalah Yayasan selalu terbuka untuk menerima dana-dana dari masyarakat luas, dan bahkan dana-dana dari suatu Instansi tertentu (Alasan sederhananya demi kepentingan publik), dimana sejatinya jika ada kepentingan Publik, maka Pemerintah harus aktif melaksanakan kewajibannya mengamankan kepentingan publik tadi untuk kepentingan Negara. Untuk menghindari adanya pihak-pihak yang memanfaatkan Yayasan ini, sebaiknya dana-dana yang tidak jelas siapa penyumbangnya wajib diserahkan kepada Negara, atau dapat disita oleh Negara melalui Lembaga Kejaksaan, dan diinformasikan hasilnya ke Publik.

10. Sang Koruptor dalam melaksanakan tugasnya memberikan dana bantuan kegiatan-kegiatan penunjang program pemerintah, selalu menyodorkan kwitansi kosong, dan meminta pihak yang menerima bantuan menandatanganinya. Untuk mengantisipasi timbulnya kesempatan sang koruptor untuk memanfaatkan proses administrasi ini, maka diharapkan kepada tokoh-tokoh masyarakat yang mewakili masyarakatnya, jika menerima bantuan dalam bentuk apapun, jika disodori surat tanda terima, periksa dengan cermat :
1. Berapa nilai nominal bantuan ataupun jumlah barang bantuan tersebut.
2. Untuk apa nominal atau jumlah barang tersebut tadi diberikan
3. Tanggal terjadinya peristiwa pemberian tersebut.
4. Untuk lebih sempurna lagi, kita harus mengetahui siapa oknum dan jabatan yang memberikan tersebut.

11. Mr. Koruptor akan membuat suatu kebijakan nyeleneh dalam suatu proses pengurusan yaitu menawarkan alternatif kepada pengguna jasa berupa alternatif proses jalur tol, dan alternatif inipun ditawarkan langsung kepada yang membutuhkan, sehingga tidak transparan. Korupsi dapat terjadi jika perbedaan pembayaran jasa jalur normal dan jalur tol tadi tidak dilaporkan. Pertanyaannya apa mungkin Mr. Koruptor melaporkannya ?. He..He..He.. tahu sendirilah jawabannya. Perbuatan ini disamping telah mengangkangi azas persamaan hak selaku warga negara dalam mendapatkan pelayanan publik, juga tidak mendukung konsep Good Governance. Kalau cara ini tidak segera diberantas, maka sudah pasti aparat pelaksana tidak akan melayani masyarakat yang melakukan proses pengurusan secara normal Cara yang efektif untuk memberantas hal ini adalah Adanya teriakan (suara-suara sumbang) dari masyarakat yang diperkuat dengan peranan media massa, sehingga diharapkan gaungnya kemana-mana, dan seluruh Instansi diwajibkan membuat spanduk-spanduk atau pengumuman-pengumuman disekitar ruangan pengurusan surat-surat, dimana jika ada tarif resmi harus dinyatakan dengan sejelas-jelasnya, dan juga dasar hukum pengenaannya, serta nomor khusus (antara lain nomor lembaga Ombudsman) yang dapat dihubungi untuk mengadukan jika ada hal-hal yang terjadi tidak sesuai dengan dari yang telah diatur secara resmi, sehingga Mr. Koruptor tadi tidak akan pernah berani membuat suatu kebijakan yang nyeleneh lagi, dan kepada Aparat yang berwenang untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, cobalah aktif menanyakan kepada Mr. Koruptor tadi sudah berapa lama hal ini berlangsung, dan kemana selisih pembayaran jasa jalur tol terhadap jalur normal tadi ? . Perbedaan antara alternatif proses jalur tol ini, dengan tarif ganda (baca point. 8) terletak pada adanya perbedaan jangka waktu proses yang ditawarkan kepada pengguna jasa.

12. Mr. Koruptor akan berakting untuk minta belas kasihan dari pengguna jasa yaitu dengan mengutarakannya secara hati kehati, biasanya yang diminta dengan berbagai istilah umum antara lain : Uang lelah, uang capek, uang pengertian, uang rokok, uang damai, amplop , uang makan dll. Untuk hal ini Mr. Koruptor yang berakting pengemis intelek tadi, selalu mengedepankan jasa-jasanya dalam membantu sang pengguna jasa, padahal secara job deskripsi, pelayanan yang diberikan Mr. Koruptor tadi merupakan kewajibannya sebagai abdi masyarakat. Bagaimana cara memberantas bertumbuhnya pengemis model ini atau lebih tepatnya pemeras (tukang palak) berstatus ini, Caranya gampang sekali, yaitu komitmen kita semua sebagai masyarakat pengguna jasa, dengan tegas sepakat untuk tidak meladeni permintaan belas kasihan Mr. Koruptor ini tadi, dan untuk seluruh Instansi yang ada pelayanan tanpa biaya yang dibebankan, wajib membuat pengumuman yang dapat ditangkap pandangan mata (dibuat dengan huruf yang besar dan warna mencolok). seperti "SETIAP PENGURUSAN GRATIS" dan "JANGAN BERI AKU SESUATU". dll, yang bersifat membangun rasa malu bagi petugas yang melayani, begitu juga membangun kesadaran bagi masyarakat yang datang melaksanakan proses pengurusan untuk tidak memberi sesuatu.

13. Dengan cara membiarkan para calo tumbuh disekitar Intansi yang dipimpinnya, Untuk jelasnya adalah jika kita berhubungan dengan instansi yang dipenuhi dengan para calo, maka dapat dipastikan bahwa instansi tersebut dipenuhi dengan Mr. Koruptor, karena dengan berkeliarannya para calo, tentu kinerja dari orang-orang yang didalam instansi tersebut tidak akan mengedepankan konsep pelayanan bagi orang yang datang, tetapi lebih mementingkan orderan dari sang calo, karena dapat dipastikan map sang calo tentu telah diselipkan "gizi" sehingga sang petugas akan bersemangat begitu menerima map yang disodorkan sang calo, dan jika masyarakat mengeluh tentu ada yang ditunjuk sebagai kambing hitamnya, Hal ini tentu bertentangan dengan prinsip persamaan hak dalam mendapatkan pelayanan publik. cara mengantisipasinya adalah aparat yang berwenang diatasnya lebih mendidik bawahannya untuk tidak membiarkan masalah calo ini melekat disekitar instansi yang dipimpinnya, jika ini tidak bisa ditertibkan, mending dicari saja penggantinya yang lebih mampu. karena jika ada itikad baik dari sang pemimpin semuanya dapat dilakukan dengan baik dan sempurna, itu saja kata kuncinya, dan untuk menanamkan kesadaran masyarakat yang ingin berurusan dengan instansi tersebut, maka instansi tersebut wajib dipasangi spandung yang langsung dapat diakses oleh mata pengunjung berupa "Pengurusan jangan melalui calo" atau "Berkas melalui calo tidak akan dilayani".

14. Memperpanjang mata rantai pengurusan, dan mata rantai tersebut ditunjuk langsung oleh pembuat kebijakan dari instansi yang bersangkutan. Contoh konkritnya adalah bahwa item-item dari pengurusan diserahkan kepada perusahaan lain, yang dibentuk dari pihak ketiga yang ada hubungannya dengan instansi tersebut. seperti Koperasi yang dibentuk oleh instansi tersebut, membentuk lagi perusahaan yang akan mendapat orderan kerja dari instansi dimana koperasi tersebut dibentuk, dan lebih parah lagi jika perusahaan tersebut dibentuk dari beberapa koperasi dan berasal dari beberapa instansi, weleh-weleh lengkaplah sudah istana atm para koruptor yang idenya sama tersebut. Padahal kalau mau jujur, mengapa bukan instansi tersebut saja yang melakukannya, tidak menambah mata rantai yang biasanya monopoli untuk mensejahterakan pihak-pihak tertentu, tetapi merugikan banyak pihak. atau kalau memang hal itu tidak dapat dilakukan oleh instansi tersebut, mengapa tidak melalui jalur tender ? Untuk hal ini sebaiknya pihak berwenang dapat lebih jeli melihat apakah penyalahgunaan wewenang telah berlangsung pada instansi tersebut, dan tegas dalam menerapkan peraturan. Kejelian pihak berwenang sangat dibutuhkan, karena untuk proses tender, bisa saja seluruh perusahaan yang ikut serta merupakan perusahaan boneka yang pemiliknya ya sipembuat kebijakan itu tadi. Penulis berharap agar para calon koruptor tidak belajar dari tulisan ini ya he... he... he... he .....




Tidak ada komentar:

Posting Komentar